Rabu, 06 Januari 2010

zina

Zina bisa dipilah menjadi dua macam pengertian, yaitu pengertian zina yang bersifat khusus dan yang dalam pengertian yang bersifat umum. Pengertian yang bersifat umum meliputi yang berkonsekuensi dihukum hudud dan yang tidak. Yaitu hubungan seksual antara laki-laki dan wanita yang bukan haknya pada kemaluannya. Dan dalam pengertian khusus adalah yang semata-mata mengandung konsekuensi hukum hudud.

1. Zina Dalam Pengertian Khusus

Sedangkan yang dalam pengertian khusus hanyalah yang berkonsekuensi pelaksanaan hukum hudud. Yaitu zina yang melahirkan konsekuensi hukum hudud, baik rajam atau cambuk. Bentuknya adalah hubungan kelamin yang dilakukan oleh seorang mukallaf yang dilakukan dengan keinginannya pada wanita yang bukan haknya di wilayah negeri berhukum Islam.

Untuk itu konsekuensi hukumya adalah cambuk 100 kali sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT dalam Al-Quran Al-Kariem :

Wanita dan laki-laki yang berzina maka jilidlah masing-masing mereka 100 kali. Dan janganlah belas kasihan kepada mereka mencegah kamu dari menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang beriman. (QS. An-Nuur : 2)

Sedangkan Al-Malikiyah mendefinisikan bahwa zina itu adalah hubungan seksual yang dilakukan oleh seorang mukallaf muslim pada kemaluan wanita yang bukan haknya (bukan istri atau budak) tanpa syubhat atau disengaja.

Sedangkan As-syafi�iyyah mendefiniskan bahwa zina adalah masuknya kemaluan laki-laki atau bagiannya ke dalam kemaluan wanita yang bukan mahram dengan dilakukan dengan keinginannya di luar hal yang syubhat.

Dan Al-Hanabilah mendefinisikan bahwa zina adalah perbuatan fahisyah (hubungan seksual di luar nikah) yang dilakukan pada kemaluan atau dubur.

Namun untuk menjalankan hukum zina seperti ini, maka ada beberapa syarat penting yang harus dipenuhi antara lain :

  1. Pelakunya adalah seorang mukallaf , yaitu aqil dan baligh. Sedangkan bila seorang anak kecil atau orang gila melakukan hubungan seksual di luar nikah maka tidak termasuk dalam kategori zina secara syar`i yang wajib dikenakan sangsi yang sudah baku. Begitu juga bila dilakukan oleh seorang idiot yang para medis mengakui kekuranganya itu.
  2. Pasangan zinanya itu adalah seorang manusia baik laki-laki ataupun seorang wanita. Sehingga bila seorang laki-laki berhubungan seksual dengan binatang seperti anjing, sapi dan lain-lain tidak termasuk dalam kategori zina, namun punya hukum tersendiri.
  3. Dilakukan dengan manusia yang masih hidup. Sedangkan bila seseorang menyetubuhi seorang mayat yang telah mati, juga tidak termasuk dalam kategori zina yang dimaksud dan memiliki konsekuensi hukum tersendiri.
  4. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa zina itu hanyalah bila dilakukan dengan memasukkan kemaluan lak-laki ke dalam kemaluan wanita . Jadi bila dimasukkan ke dalam dubur (anus), tidak termasuk kategori zina yang dimaksud dan memiliki hukum tersendiri. Namun Imam Asy-Syafi`i dan Imam Malik dan Imam Ahmad tetap menyatakan bahwa hal itu termasuk zina yang dimaksud.
  5. Perbuatan itu dilakukan bukan dalam keadaan terpaksa baik oleh pihak laki-laki maupun wanita.
  6. Perbuatan itu dilakukan di negeri yang secara resmi berdiri tegakhukum Islam secara formal , yaitu di negeri yang �adil� atau �darul-Islam�. Sedangkan bila dilakukan di negeri yang tidak berlaku hukum Islam, maka pelakunya tidak bisa dihukum sesuai dengan ayat hudud.

Larangan meminum khamar, berjudi

Larangan meminum khamar, berjudi, berkorban untuk berhala dan mengundi nasib (Al Maidah 90-91)

90. Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah[434], adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.

91. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).

qisas

Qisas adalah pembayaran yang seimbang antara pelaku dan yang dianiaya seperti bila membunuh harsu dibunuh, mematahkan gigi harus dipatah gigi, dan lain-lain. Firman Allah SWT :

وكتبنا عليهم فيها ان النفس بالنفس والعين بالعين…

Artinya :

“Dan telah Kami tetapkan terhadap mereka di dalamnya (at-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata…..” (QS. Al-Maidah: 45).

hudud

Hudud adalah bentuk jama’ dari kata had yang asal artinya sesuatu yang membatasi di antara dua benda. Menurut bahasa, kata had berarti al-man’u (cegahan) (Fiqhus Sunnah II: 302).

Adapun menurut syar’i, hudud adalah hukuman-hukuman kejahatan yang telah ditetapkan oleh syara’ untuk mencegah dari terjerumusnya seseorang kepada kejahatan yang sama (Manarus Sabil II: 360).

ta'zir

Ta’zir adalah hukuman yang tidak ditentukan oleh al qur’an dan hadits yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah dan hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si terhukum dan mencegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan yang serupa, penentuan jenis pidana ta’zir ini diserahkan sepenuhnya kepada penguasa sesuai dengan kemaslahatan menusia itu sendiri. Menuurut hemat penulis, diantara jenis-jenis hukuman ta’zir yang telah penulis kemukakan dalam pembahasan, tidak semuanya relevan untuk diterapkan pada zaman ini, seperti hukuman jilid dan salib karena dinilai sangat keji. Sementara mengenai hukuman mati dalam ta’zir, penulis sependapat dengan ulama’ yang membolehkannya sepanjang sejalan dengan kemaslahatan manusia. Tetapi secara umum, mengenai jenis hukuman yang relevan untuk jarimah ta;zir ini harus disesuaikan dengan kejahatan yang dilakukan agar hukuman dalam suatu peraturan bisa parallel. Untuk menentukan hukuman yang relevan dan efektif, harus mempertimbangkan agar hukuman itu mengandung unsure pembalasan, perbaikan, dan perlindungan terhadap korban (Theori neo-klasik), serta dilakukan penelitian ilmiyah terlebih dahulu.

Pengertian Kafarat

Diarsipkan di bawah: Uncategorized — justcallmenorm @ 12:29 pm
Berasal dari kata dasar kafara (menutupi sesuatu). Artinya adalah denda yang wajib ditunaikan yang disebabkan oleh suatu perbuatan dosa, yang bertujuan menutup dosa tersebut sehingga tidak ada lagi pengaruh dosa yang diperbuat tersebut, baik di dunia maupun di akhirat. Kafarat merupakan salah satu hukuman yang dipaparkan secara terperinsi dalam syariat Islam.
Ada bermacam-macam kafarat dalam Islam yang bentuknya berbeda sesuai dengan perbedaan pelanggaran (dosa) yang dilakukan. Perbuatan-perbuatan dosa yang dikenakan kaafarat tersebut antarta lain melanggar sumpah, melakukan jimak (hubungan suami istri) di siang hari pada bulan Ramadhan, men-zihar istri (seorang suami menyatakan bahwa punggung istrinya sama dengan punggung ibunya), dan mempergauli istri ketika sedang melaksanakan ihram di Makkah.
Kafarat sumpah, para ulama membedakan sumpah tersebut dalam sumpah lagw (sia-sia) seperti ucapan seseorang yang dilontarkan tanpa tujuan untuk bersumpah. Sumpah seperti ini tidak dianggap sebagai sumpah yang harus dikenai denda kafarat. Ada pula sumpah qumus yakni sumpah dusta dan mengandung unsur pengkhianatan. Sumpah seperti ini tidak dikenakan kafarat menurut jumhur ulama karena hukumannya lebih besar dan berat dari kafarat. Sumpah mun’aqidah yaitu sumpah yang dilakukan seseorang bahwa ia akan melakukan sesuatu di masa yang akan datang atau tidak melakukan sesuatu, namun sumpah itu dilanggarnya. Bentuk sumpah ini dikenai kafarat sumpah sebagaimana difirmankan dalam Alquran surat Al-Maidah ayat 89 yakni memberi makan 10 orang miskin, memberi pakaian mereka aatau memerdekakan budak. Jika si pelanggar sumpah tidak sanggup melaksanakan kafarat tersebut, ia harus berpuasa selama tiga hari.
Kafarat zihar, yaitu ucapan menyamakan punggung ibu dengan punggung istri. Hukumannya menurut QS Al-Mujahadah ayat 3 dan 4 adalah memerdekakan budak; jika tidak sanggup, berpuasa dua bulan berturut-turut dan jika tidak mampu juga, memberi makan 60 orang miskin. Jumhur ulama sepakat bahwa kafarat zihar ini dengan urutan seperti yang ada dalam ayat itu, tanpa ada kebolehan memilih atau mengganti-ganti urutan tersebut. Berbeda dengan jumhur ulama, ulama Mazhab Maliki berpendapat bentuk-bentuk hukuman tersebut merupakan tiga alternatif yang boleh dipilih tanpa terikat dengan tertib yang ada dalam ayat. Boleh saja yang dua didahulukan kalau kemaslahatan menghendaki demikian.
Kafarat bagi suami yang melakukan jimak (persetubuhan) pada saat ihram atau pada siang hari puasa Ramadhan. Kafaratnya adalah dengan memerdekakan budak, puasa berturut-turut selama dua bulan atau memberi makan kepada 60 orang miskin. Dasar hukum dari kafarat jimak ini adalah hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Jemaah dari Abu Hurairah.
Dari berbagai ayat dan hadis tentang kafarat tersebut terlihat bahwa tujuan kafarat adalah taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT, di samping juga memerdekakan budak, dalam arti bukan untuk menanggung resiko fisik sebagaimana yang terdapat dalam hukuman-hukuman hudud atau kisas

jinayat

Jinayah menurut fuqaha’ ialah perbuatan atau perilaku yang jahatyang dilakukan oleh seseorang untuk mencerobohi atau mencabul kehormatan jiwa atau tubuh badan seseorang yang lain dengan sengaja.Penta`rifan tersebut adalah khusus pada kesalahan-kesalahan bersabit dengan perlakuan seseorang membunuh atau menghilangkan anggota tubuh badan seseorang yang lain atau mencederakan atau melukakannya yang wajib di kenakan hukuman qisas atau diyat.Kesalahan-kesalahan yang melibatkan harta benda, akal fikiran dan sebagainya adalah termasuk dalam jinayah yang umum yang tertakluk dibawahnya semua kesalahan yang wajib dikenakan hukuman hudud, qisas,diyat atau ta`zir.

JIHAD

Para ulama membagi jihad menjadi dua bagian, yaitu jihad thalabi (jihad yang bersifat ofensif), kedua jihad difa’i (jihad yang bersifat defensif). Sedang maksud dari kedua macam jihad tersebut adalah menyebarkan Dienullah, mengajak manusia kepada Allah dan mengeluarkan mereka dari zhulumat-ilannur (kegelapan kepada cahaya) serta untuk meninggikan Dien-Nya dipersada bumi ini, sehingga Dien semua milik Allah semata sebagaimana Allah firmankan dalam kitab-Nya yang mulia:
“Dan perangilah mereka itu, sehingga tak ada fitnah, dan adalah dien bagi Allah semata-mata.” (QS Al-Baqarah : 193)
Firman-Nya lagi:
“Perangilah mereka itu sehingga tak ada fitnah dan adalah dien semua hanya milik Allah.” (QS Al-Anfal : 39)
Dalam surat yang lain Allah berfirman:
“Maka apabila telah habis bulan suci, hendaklah perangi orang-orang musyrik dimana saja kamu jumpai dan hendaklah ambil mereka itu menjadi tawanan dan kepunglah mereka yang dilaluinya. Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat serta mengeluarkan zakat, maka bebaskanlah jalan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS At-Taubah : 5)
Sebenarnya ayat-ayat yang semakna dengan beberapa firman Allah di atas sangat banyak.
Untuk memperjelas pengertian Jihad di atas akan kami kemukakan beberapa hadits Nabi SAW sebagai berikut:
“Nabi SAW bersabda: “Aku diperintah untuk memerangi orang-orang hingga mereka bersaksi (dengan sepenuh hati) bahwa tidak ada Rabb (yang patut diibadahi) melainkan Allah, dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, dan menegakkan shalat serta mengeluarkan zakat, maka apabila mereka mengerjakan itu semua, darah dan harta benda mereka terpelihara dari kami, melainkan dengan hak Islam, sedang perhitungan mereka di tangan Allah.” (Muttafaqun ‘alaih dari hadits Ibnu Umar ra).”
Dalam riwayat Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah ra katanya Nabi SAW bersabda:
“Saya diperintah untuk memerangi orang-orang hingga mereka bersaksi (dengan sepenuh hati) bahwa tiada Rabb (yang patut diibadahi) melainkan Allah dan bahwasanya saya adalah Rasul-Nya. Apabila mereka telah bersaksi demikian, maka darah dan harta benda mereka terpelihara dari saya, kecuali dengan haknya, sedang perhitungan mereka di tangan Allah.”
Imam Muslim dalam Shahih nya pernah meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, katanya:
“Rasulullah SAW bersabda: “Aku diperintah memerangi orang-orang hingga mereka mengucap “Laailaaha illallah” dan beriman (dengan sepenuh hatinya) kepada-ku serta kepada apa saja yang aku bawa.”
Masih dalam shahih Muslim dari Thariq bin Asyyam al-Asyja’ ra, katanya:
“Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa mentauhidkan Allah dan mengkufuri segala sesuatu yang di sembah selain Allah, maka harta dan darahnya haram (di ganggu), sedang perhitungannya di tangan Allah Azza wa Jalla.”
Hadits-hadits dan ayat-ayat yang semakna dengan yang di atas sangat banyak, dimana kesemuanya itu menunjukkan bahwa kaum Muslimin wajib melawan kaum kuffar dan musyrikin, sedangkan memerangi mereka sesudah sampai kepadanya dakwah Islamiyah (itupun bila mereka tetap kafir dan angkat senjata). Dakwah harus terus di lancarkan sekalipun mereka bersikeras memegang sikap kufur hingga mereka beribadah kepada Allah semata, beriman dengan sepenuh hati kepada Rasulullah SAW serta mengikuti apa yang di bawa beliau.
Semua orang non muslim menjadi sasaran jihad, baik jihad thalabi maupun jihad difa’i, kecuali orang-orang yang berkewajiban membayar jizyah (upeti). Ini didasarkan pada firman Allah:
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) pada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah Dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS At-Taubah : 29)
Menurut keterangan hadits-hadits yang shahih bahwa Nabi SAW pernah memungut jizyah dari orang-orang yahudi, nashrani dan majusi. Oleh karena itu, kaum Muslimin harus berjihad dan memerangi ketiga golongan tersebut dengan segenap kemampuannya hingga mereka membayar jizyah dengan sukarela.
Adapun selain ketiga golongan di atas, mereka harus diperangi hingga mereka masuk ke dalam Dienul Islam. Demikian menurut pendapat para ulama yang paling kuat. Sebab Nabi SAW memerangi bangsa Arab jahiliyah hingga mereka memeluk Dienul Islam dengan berbondong-bondong, sedang beliau tidak pernah memungut jizyah dari mereka itu. Andaikata memungut jizyah dari mereka boleh, sehingga darah dan harta benda mereka terpelihara dari Nabi SAW, tentu beliau menerangkannya dan diriwayatkan kepada kita semua.
Meskipun ada sebagian ahli ilmu berpendapat bahwa boleh memungut jizyah dari orang-orang kafir selain tiga golongan di atas. Ini didasarkan pada hadits Buraidhah yang termaktub dalam Shahih Muslim.
Pembahasan secara khusus dan di ambilnya jalan tengah di antara pendapat-pendapat para ulama yang berbeda sudah di kupas dalam banyak kitab yang di tulis oleh ahli ilmu. Barangsiapa yang ingin mengkaji lebih dalam lagi, silahkan baca sendiri.
Ada tiga golongan orang-orang kafir yang tidak boleh di perangi, yaitu perempuan, anak-anak dan orang tua, selama mereka tidak ikut andil dalam perang. Tapi bila mereka ikut berperang atau memberi usul dan saran kepada pihak lawan, maka mereka ini menurut keterangan-keterangan Dien harus di perangi.